ASWAJA AN-NAHDLIYAH
Ajaran Ahlussunnah wa al-jamaah yang berlaku di lingkungan Nahdlatul Ulama

Oleh: Tim PWNU Jawa Timur

Tim Penyusun :
Masyhudi Muchtar
A. Rubaidi
A.Zainul Hamdi
Maftuhin
Andre

Penerbit: Khalista Surabaya


Daftar Isi :
BAB 1) Mukadimah. 

BAB 2) Sumber Ajaran Aswaja An-Nahdliyah. 
a. Madzhab Qauli
b. Madzhab Manhaji
c. Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi

BAB 3) Aqidah Aswaja An-Nahdliyah.
a. Konsep Aqidah Asy'ariyah
b. Konsep Aqidah Maturidiyah
c. Spirit Ajaran Asy’ariyah dan Maturidiyah

BAB 4) Syari’ah Aswaja An-Nahdliyah. 
- Kenapa Harus Empat Madzhab

BAB 5) Tasawuf Aswaja An-Nahdliyah. 

BAB 6) Tradisi dan Budaya.
a. Landasan Dasar Tradisi
b. Sikap Terhadap Tradisi

BAB 7) Kemasyarakatan.
a. Mabadi' Khairu Ummah
b. Maslahatul Ummah

BAB 8) Kebangsaan dan Kenegaraan. 

BAB 9) Khatimah (Penutup)


Saturday, October 5, 2013

Khatimah

Yang dipaparkan dalam buku ini adalah sebuah penjabaran secara singkat dari sikap keberagamaan dan kemasyarakatan Aswaja, yaitu tawassuth dan I’tidal (tengah-tengah), tasamuh (toleran), tawazzun (keseimbangan), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

Tawassuth dan I’tidal adalah sebuah sikap keberagamaan yang tidal terjebak pada titik-titik ekstrem. Sikap yang mampu menjumput setiap kebaikan dari berbagai kelompok. Kemampuan untuk mengapresiasi kebaikan dan kebenaran dari berbagai kelompok memungkinkan pengikut Aswaja untuk tetap berada di tengah-tengah.

Tasammuh adalah sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam. Keragaman hidup menuntut sebuah sikap yang sanggup untuk menerima perbedaan pendapat dan menghadapinya secara toleran. Toleransi yang tetap diimbangi oleh keteguhan sikap dan pendirian.

Tawazun artinya seimbang. Keseimbangan adalah sebuah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional. Sebagaimana sikap tawassuth, tawazun juga menghendaki sebuah sikap keberagamaan yang tidak terjebak pada titik-titik ekstrem, misalnya kelompok keagamaan yang terlalu terpaku kepada masa lalu sehingga umat Islam sekarang hendak ditarik ke belakang mentah-mentah sehingga bersikap negatif terhadap setiap ikhtiar kemajuan. Atau sebaliknya, kelompok keagamaan yang menafikan seluruh kearifan masa lalu sehingga tercerabut dari akar sejarahnya. Aswaja menghendaki sebuah sikap tengah-tengah agar tidak terjebak ke dalam ekstremitas.

Amar ma’ruf nahi munkar atau mangajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sebuah konsekuensi dari keyakinan kita terhadap kebenaran Islam ala Ahlissunnah wal Jama’ah. Saat ini banyak kelompok Islam yang sikap keberagamaannya tidak menunjukkan moderasi ala Aswaja tapi mengaku-aku Aswaja. Amar ma’ruf nahi munkar ditujukan pada siapa saja, muslim maupun non-muslim, yang melakukan kemungkaran dengan menebar perilaku destruktif, menyebarkan rasa permusuhan, kebencian dan perasaan tidak aman, serta menghancurkan keharmonisan hidup di tengah-tengah masyarakat.

Jka kita memeras kembali keempat nilai ideal tersebut, maka kita akan menemukan satu kata, yaitu moderat yang berarti seimbang, proporsional, dan toleran. Sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang moderat ini melandasi seluruh ajaran Aswaja sejak dulu. Oleh karena itu, maka perbedaan sikap antara kalangan muslim keras atau ekstrem yang saat ini sedang marak dengan sikap moderat kaum sunni tidak hanya terjadi saat ini, tapi sudah ada sejak dulu.

Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dianggap sebagai ajaran tauhid Sunni tidak lain adalah sebuah ikhtiar mencari jalan tengah (moderat) antara ekstremitas Jabariyah dan Qadariyah/Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiyah juga muncul sebagai respon atas sikap keberagamaan Mu’tazilah yang menganggap semua musuh-musuhnya sesat sehingga semua umat Islam harus mengikuti ajaran Mu’tazilah. Arogansi Mu’tazilah ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan politik negara yang bersifat represif. Kalau saat ini ada kelompok muslim yang menganggap di luar kelompoknya adalah sesat dan hendak memaksakan pendapatnya dengan menggunakan kekuasaan negara (biasanya dengan cara mengislamkan negara), maka sungguh nyata bahwa mereka bukanlah kaum sunni.

Semangat moderasi juga kita temukan dalam empat ulama pendiri madzhab fiqih Sunni (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali). Mereka adalah ulama yang berjuang (ijtihad) untuk merumuskan hukum Islam dengan mencari keseimbangan antara dalil nash dan ra’yu (rasio). Hal ini terlihat semakin jelas dalam pribadi Imam Syafi’i, di mana dia sangat membela hadits shahih, tapi sekaligus juga menganjurkan qiyas (analogi) secara rasional serta merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang bersifat logis dan rasional.

Semangat moderasi juga ditemukan dalam tasawuf Sunni. Al-Ghazali adalah salah satu ulama Sunni besar yang berusaha dengan keras menyelaraskan antara syari’at dengan hakikat. Bagi al-Ghazali, syari’at atau fiqih tanpa ada muatan tasawufnya menjadikan ibadah kering tanpa ruh, sementara tasawuf yang mengabaikan syari’at bisa terjebak dalam kesesatan. Karena itu, maka ada adagium yang sangat terkenal dalam masalah ini, yaitu “man tafaqqaha wala tashawwafa faqad tafassaqa, wa man tashawwafa wala tafaqqaha faqad tazandaqa” (orang yang mengikuti fiqih dengan mengabaikan tasawuf bisa terperosok dalam kefasikan, dan orang yang mengikuti tasawuf dengan mengabaikan fiqih bisa terperosok dalam ke-zindiq-an).

Sikap moderat yang diteladankan ulama Sunni itu tetap dilanjutkan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di nusantara. Sepanjang sejarah dakwah Walisongo, kita menemukan sebuah upaya untuk mencari jalan tengah antara ajaran Islam sebagaimana yang tertera dalam nash dengan kondisi riil yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sikap moderat Walisongo tidak hanya berhasil dalam menyebarkan Islam, tapi juga mampu menghadirkan Islam yang toleran dan damai, bukan Islam yang garang dan menghancurkan (destruktif).

“Wallaahu a’lam bi al-shawab”


TIM PWNU JAWA TIMUR

ASWAJA AN-NAHDLIYAH
“Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah 
Yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama”
Read more ...

Kebangsaan

Sejak sebelum lahirnya, Indonesia merupakan negara plural yang didiami penduduk dengan beraneka ragam suku, adat istiadat, bahasa daerah, dan menganut berbagai agama, yang tinggal di lebih 17 ribu pulau, memanjang dari barat hingga timur hampir seperdelapan lingkar bumi. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama merupakan salah satu komunitas yang hidup di situ, dan sejak mula menyadari dan memahami bahwa keberadaannya merupakan bagian tidak terpisahkan dari keanekaragaman itu. Karena itu, NU terus mengikuti dan ikut menentukan denyut serta arah bangsa ini berjalan. Karena itu, segala permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia juga ikut menjadi keprihatinan NU. Ibarat satu tubuh, bila salah satu bagian menderita, maka seluruhnya ikut merasakan.

Dalam kaitan ini, Nahdlatul Ulama mendasari dengan empat semangat : 1) Ruhut Tadayun, yaitu semangat beragama yang dipahami, didalami, dan diamalkan; 2) Ruhul Wathaniyah, yakni semangat cinta tanah air; 3) Ruhut Ta’addudiyah, yaitu semangat menghormati perbedaan; dan 4) Ruhul Insaniyah, berarti semangat kemanusiaan. Keempat semangat NU itu selalu melekat dan terlibat dalam proses perkembangan Indonesia.

Ruhut Tadayun menunjukkan bahwa NU mendorong warganya untuk senantiasa meningkatkan pemahaman nilai-nilai agama. Bagi NU, Islam adalah agama yang ramah dan damai. Dengan nilai-nilai keindonesiaan yang terkandung dalam Islam, NU menjadi barometer kegiatan beragama yang moderat (tawasuth). Dengan semakin banyaknya konflik kekerasan yang disinggungkan dengan agama, NU harus lebih intensif terus mengembangkan sikap tawasuth ini ke masyarakat, tanpa pandang perbedaan agama dan keyakinan meraka. Pada individu Nahdliyin harus tertanam kesadaran (ghirah) Islamiyah (kepekaan membela eksistensi Islam) dan tetap menghormati orang lain yang memeluk agama yang berbeda.

Keterlibatan NU dalam pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, NU telah secara aktif menerapkan semangat cinta tanah air atau ruhul wathaniyah. Bahkan, ketika sebagian umat muslim mengajukan Syari’at Islam sebagai ideologi negara dengan memasukkan tujuh kata dalam Pancasila yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, NU rela menghilangkannya demi persatuan bangsa tanpa harus mengorbankan aqidah. Ini gambaran jelas betapa NU sangat konsisten dengan perjuangan para pahlawan yang berasal dari berbagai macam latar belakang agama dan etnis yang ikut berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan. Dengan demikian, sudah menjadi keyakinan warga Nahdliyin bahwa Pancasila merupakan wujud upaya umat Islam Indonesia dalam mengamalkan agamanya.

Dengan melihat semanagt cinta tanah air atau ruhul wathaniyah tersebut, NU sejak awal menyadari bahwa keanekaragaman bangsa ini harus dipertahankan. Bagi NU, keanekaragaman bangsa Indonesia bukanlah penghalang dan kekurangan, melainkan kekayaan dan peluang, sehingga warga Nahdliyin menganggap perlu agar seluruh warganya selalu menjunjung tinggi untuk menghormati keanekaragaman itu. Di dalam Islam sendiri terdapat berbagai aliran dan madzhab yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan perbedaan etnis dan ras serta bahasa yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Perbedaan di mata NU bukan untuk dipertandingkan dan diadu mana yang terbaik dan mana yang terburuk. Perbedaan itu, sebaliknya, ditempatkan sebagai modal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Di sini dapat dilihat, betapa konflik etnis dan aliran keagamaan dan keyakinan tidak pernah menjadikan NU patah arang. Justru dengan konflik-konflik itu NU selalu mendorong semua pihak agar menghormati perbedaan yang ada, karena bangsa ini memang bangsa yang multicultural, bangsa yang kaya akan keanekaragaman agama, etnis, ras, dan bahasa. Semangat ini biasa disebut dengan ruhut ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan).

Ruhul Insaniyah adalah semangat yang mendorong setiap warga negara Indonesia untuk menghormati setiap hak manusia. Meski NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia bahkan di dunia, namun kebesaran itu tidak menjadikan NU melihat organisasi masyarakat dan agama yang kecil dengan sebelah mata. Kebesaran ini, bagi NU karena adanya pengakuan hak dan derajat yang sama kepada semua warga negara, yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi pandangan orang tentang penghargaan NU terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yang pada akhirnya orang-orang yang sebelumnya tidak menjadi warga NU kemudian beralih menjadi warga Nahdliyin.

Keempat semangat inilah yang menjadi kunci NU kemudian menjadi sebuah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia dan dunia. Dengan demikian, sebuah kemunduran jika NU melupakan empat semangat ini.
Read more ...

Maslahatul Ummah

1. Penguatan Ekonomi
Dalam kilasan sejarahnya, Nahdlatul Ulama awalnya terbentuk dari para pedagang muslim yang berkeinginan untuk menjadi masyarakat yang mandiri. Maka sebelum NU berdiri, telah berdiri terlebih dahulu Nahdlah al-Tujjar. Nahdlah al-Tujjar ini tidak lain adalah cikal bakal NU. Keinginan ini tidak terlepas dari nilai-nilai agama Islam yang memerintah setiap umatnya agar dapat membantu sesama umat manusia. Kaum Nahdliyin hampir mayoritas berasal dari kalangan masyarakat agraris. Kini masyarakat Nahdliyin harus berhadapan dengan perkembangan dunia industri yang sangat pesat. Otomatis, keahlian dan kemandirian masyarakat Nahdliyin di sektor agraria harus siap dan akrab dengan industrialisasi, modernisasi, komersialisasi, dan manajerialisasi produk-produk agraria.

Dengan terjadinya perubahan itu, NU setidaknya memerlukan sebuah penguasaan baru dalam masalah ekonomi. Perubahan ini bukan dimaksudkan untuk mengubah pola hidup masyarakat, melainkan meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat NU di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, nelayan, dan sector usaha kecil menengah lainnya guna meningkatkan nilai tambah beberapa sector yang sesuai dengan standar usaha yang berlaku saat ini.

Sementara itu, kalangan Nahdliyin yang berada di perkotaan menjalin komunikasi dan relasi dengan perusahaan dan birokrasi guna membuka peluang pangsa pasar bagi warga NU yang hidup di pedesaan yang menggantungkan hidupnya dari sector usaha kerakyatan.

Dengan pola hubungan dua arah ini, yakni pelaku usaha dan perusahaan dengan warga Nahdliyin di perkotaan, pelaku usaha NU tidak saja dapat memperoleh peningkatan ekonomi semat, tetapi juga dapat membuka kesempatan kepada warga NU untuk belajar dan mengembangkan hasil-hasil produksinya menjadi produk-produk unggul dan meningkatkan keahlian pelaku-pelaku usaha NU dalam mengelola sektor usaha kerakyatan, termasuk informasi di seputar jenis usaha apa yang saat ini dicari oleh perusahaan. Dengan demikian, pelaku-pelaku usaha NU tidak saja akan mampu meningkatkan pendapatan, tapi juga akan mengetahui perkembangan di seputar usaha.

2. Pendidikan
a. Pendidikan Pengajaran Formal
Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang turut serta mencerdaskan bangsa, Nahdlatul Ulama sangat memiliki perhatian besar terhadap dunia pendidikan. Pondok pesantren yang semula tradisional diformat membentuk kelas berjenjang yang lambat laun menjadi madrasah. Madrasah dan pondok pesantren merupakan kontribusi nyata warga NU terhadap tegak dan kemajuan bangsa ini. Karena itu, di tengah perubahan orientasi hidup masyarakat, pendidikan tidak saja berfungsi sebagai bekal bagi warga NU untuk bisa membaca dan menulis. Akan tetapi lembaga-lembaga pendidikan NU harus bisa bersaing dengan lembaga pendidikan di luar NU. Kemajuan teknologi dan era industrialisasi tidak saja mensyaratkan warga NU bisa membaca dan menulis, melainkan juga memahami dan menguasai ilmu pengetahuan yang terus berkembang pesat nyaris tanpa batas.

Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, model pendidikan di pesantren tidak semata-mata bersifat diniyyah (mengajarkan materi keagamaan) saja, tetapi juga duniawi. Karena dengan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi , maka kualitas keilmuan yang diberikan oleh lembaga-lembaga NU juga bisa disejajarkan dengan lembaga pendidikan di luar NU. Disadari atau tidak, pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan teknologi menjadi syarat untuk bisa bersaing di masa globalisasi. Sehingga, dunia pendidikan NU harus pula tanggap dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi dengan cara membenahi kemampuan pengelola lembaga pendidikan, guru, dan murid serta sarana pembelajaran terhadap teknologi informasi, serta perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir.

b. Pengajaran Lingkungan
Sejak dulu hingga kini, Nahdlatul Ulama memahami bahwa pendidikan dan sekolah merupakan sebuah kewajiban, namun pendidikan itu tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Bagi NU, pendidikan harus berlangsung sejak dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Artinya, pendidikan tidak semata-mata dilakukan di sekolah, namun juga di masyarakat. Baik buruknya seseorang juga dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Karena itu, peran ulama menjadi sangat penting bagi pendidikan di luar sekolah. Ulama tidak saja mendidik santri agar menjadi generasi penerus bangsa yang berguna, tapi juga ngayomi lan ngayemi masyarakat umum. Untuk itu, pengajaran dan pendidikan tentang dampak lingkungan juga menjadi perhatian NU. Sebab, hal ini mengandung konsekuensi bagi NU untuk senantiasa memberikan keteladanan atau uswah kepada masyarakat luas.

3. Pelayanan Sosial
Salah satu motivasi kelahiran Nahdlatul Ulama adalah karena kesadaran buruknya pelayanan masayarakat, terutama rakyat kecil tempat mayoritas warga NU berada. Kemiskinan yang terus menjadi beban negeri ini, kebanyakan adalah dialami warga NU, buruknya gizi dan kesehatan mayoritas diderita warga NU, rendahnya tingkat pendidikan hampir seluruhnya juga disandang warga NU. Itu kenyataan yang harus diakui.
Namun bahkan dari kesadaran itu Nahdlatul Ulama harus memprioritaskan program dan usahanya dalam bidang pengentasan kemiskinan, perbaikan kesehatan, dan perbaikan tingkat pendidikan. Seberapapun kemampuan, tiap warga NU harus berusaha menjadi pelayan bagi pengentasan penderitaan masyarakat. Mereka yang berkemampuan harus berusaha sekuatnya untuk mengangkat saudara-saudaranya yang terus terjerat kemiskinan, kekurangan gizi dan kesehatan, dan rendahnya tingkat pendidikan.

Orang yang berkemampuan itu – di kalangan NU – saat ini sesungguhnya makin banyak. Dan kesadaran untuk itu juga mulai tumbuh. Terbukti sekarang di lingkungan NU sudah makin banyak lembaga-lembaga pendidikan yang cukup berkelas, panti asuhan bagi yatim dan yang terlantar, rumah-rumah sakit atau balai kesehatan, dan lembaga-lembaga perekonomian dan koperasi yang berusaha mengangkat derajat hidup warga NU. Itu semua patut dihargai, tapi itu masih jauh dari kebutuhan. Karena itu kesadaran untuk terus memperbaiki pelayanan social harus terus ditumbuhkan dan diupayakan.
Read more ...

Mabadi' Khairu Ummah

Muktamar (dulu disebut Kongres) Nahdlatul Ulama ke-13, tahun 1935, antara lain memutuskan sebuah kesimpulan, bahwa kendala utama yang menghambat kemampuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan menegakkan agama adalah karena kemiskinan dan kelemahan di bidang ekonomi. Maka muktamar mengamanatkan PBNU (dulu namanya HBNO) untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini bermula dari lemahnya sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi yang disebut Mabadi Khaira Ummah, atau langkah awal membangun umat yang baik. Di antara lima prinsip Mabadi Khaira Ummah adalah :

1. Al-Shidqu
sebagai salah satu sifat Rasulullah SAW., al-shidqu, berarti jujur, benar, keterbukaan, tidak bohong, satunya hati-kata-perbuatan. Setiap warga Nahdliyin, mula-mula dituntut jujur kepada diri sendiri, kemudian kepada orang lain. Dalam mu’amalah dan bertransaksi harus memegangi sifat al-shidqu ini sehingga lawan dan kawan kerjanya tidak khawatir tertipu. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saat menjalankan bisnis Sayyidatina Khadijah. Dari sikap itu beliau memperoleh sukses besar. Padahal itu memang menjadi perilaku Rasulullah sepanjang hayatnya.
Warga NU sebagai pengikut Kanjeng Nabi Muhammad harus mengikuti jejaknya. Bila melupakan dan meninggalkannya, pasti akan merugi dan menderita kegagalan. Sikap al-Shidqu itu terbukti juga bagian penting dari kunci sukses bagi kegiatan perekonomian modern saat ini.

2. Al-Amanah wa al-Wafa’ bi al-‘Ahdi
Dapat dipercaya memegang tanggung jawab dan memenuhi janji. Amanah juga satu sifat Rasul. Merupakan hal penting bagi kehidupan seseorang dalam pergaulan memenuhi kebutuhan hidup. Sebelum diangkat sebagai Rasul, Nabi Muhammad mendapat gelar al-Amin dari masyarakat karena diakui sebagai orang yang dapat diserahi tanggung jawab. Satu di antara syarat warga NU agar sukses dalam kehidupan harus terpercaya dan menepati janji serta disiplin memenuhi agenda.
Bila orang suka khianat dan ingkar janji, pasti tidak dipercayaoleh kawan kerja dan relasi. Pelanggan akan memutus hubungan, dan kawan kerja akan menjauh. Al-Amanah dan al-Wafa bi al-‘Ahdi memang merupakan bagian penting bagi keberhasilan perekonomian. Dan itulah sikap para profesional modern yang berhasil pada masa kini.

3. Al-‘Adalah
Berarti bersikap adil, proporsional, obyektif, dan mengutamakan kebenaran. Setiap warga Nahdliyin harus memegangi kebenaran obyektif dalam pergaulan untuk mengembangkan kehidupan. Orang yang bersikap adil meski kepada diri sendiri akan dipandang orang lain sebagai tempat berlindung dan tidak menjadi ancaman. Warga Nahdliyin yang bisa menjadi pengayom bagi masyarakatnya sekaligus memudahkan dan membuka jalan kehidupannya. Sikap adil juga merupakan ciri utama penganut Sunni-Nahdliyin dalam kehidupan bermasyarakat. Dan bila ini benar-benar mampu menjadi karakter Nahdliyin, berarti juga wujud dari prinsip risalah kenabian rahmatan li al-‘alamin, yang berarti bukan hanya manfaat bagi diri sendiri atau golongan, tapi penebar kasih saying buat semua orang. Ini penting bagi sukses seseorang dalam mengarungi kehidupan.

4. Al-Ta’awun
Artinya tolong-menolong, atau saling menolong di antara sesama kehidupan. Ini sesuai dengan jatidiri manusia sebagai makhluk social, yang dia tidak bisa hidup tanpa kerjasama dengan makhluk lain : sesama manuisa, dengan binatang, maupun alam sekitar. Setiap warga Nahdliyin harus menyadari posisinya di tengah sesama makhluk, harus bisa menempatkan diri, bersedia menolong dan butuh pertolongan. Dalam agama Islam, tolong-menolong merupakan prinsip bermu’amalah. Karena itu, dalam jual-beli misalnya, kedua belah pihak harus mendapat keuntungan, tidak boleh ada satu pihak yang dirugikan. Sebab prinsipnya ta’awun : pembeli menginginkan barang, sedang penjual menginginkan uang.
Bila setiap bentuk mu’amalah menyadari prinsip ini, mu’amalah akan terus berkembang dan lestari. Jalan perekonomian pasti akan terus lancar bahkan berkembang. Bila prinsip ta’awun ditinggalkan, satu pihak akan menghentikan hubungan dan mu’amalah akan mengalami kendala.

5. Al-Istiqamah
Istiqamah adalah sikap mantap, tegak, konsisten, tidak goyah oleh godaan yang menyebabkan menyimpang dari aturan hokum dan perundangan. Di dalam Al-Qur’an dijanjikan kepada orang yang beriman dan istiqamah, akan memeproleh kecerahan hidup, terhindar dari ketakutan dan kesusahan, dan ujungnya mendapatkan kebahagiaan. Untuk mendapatkan sukses hidup warga Nahdliyin juga harus memegangi sifat konsisten ini, tahan godaan dan tidak tergiur untuk melakukan penyimpangan yang hanya menjanjikan kebahagiaan sesaat dan kesengsaraan jangka panjang. Sikap konsisten akan membuat kehidupan tenang yang bisa menumbuhkan inspirasi, inisiatif, dan kreasi mengatasi segala halangan dan kesulitan. Istiqamah menghindarkan dari kesulitan hidup dan atau mengalami jalan buntu. Istiqamah berarti berpegang teguh pada prinsip-prinsip keyakinan dan merutinkan amaliyah sesuai keyakinan tersebut.
Read more ...

Sikap Terhadap Tradisi

Pertanyaan penting yang perlu dijawab di bagian ini adalah “bagaimana menggunakan kaidah-kaidah fiqih dalam menyikapi tradisi?”. Banyak orang yang memepertentangkan antara budaya dengan agama. Hal ini karena agama berasal dari Tuhan yang bersifat sacral (ukhrawi), sedang budaya adalah kreasi manusia yang bersifat profan (duniawi). Akan tetapi sejak diturunkan, agama tidak bisa dilepaskan dari budaya sebagai perangkat untuk mengekspresikannya.

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang bersifat moderat memandang dan memperlakukan budaya secara proporsional (wajar). Sebagai kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, budaya tentu memiliki nilai-nilai positif yang bisa dipertahankan bagi kebaikan manusia, baik secara personal maupun social.

Dalam hal ini, berlaku kaidah “al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru yang lebih baik. Dengan menggunakan kaidah ini, pengikut Aswaja memiliki pegangan dalam menyikapi tradisi. Yang dilihat bukan tradisi atau budayanya, tapi nilai yang dikandungnya. Jika sebuah produk budaya tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, dalam arti mengandung kebaikan, maka bisa diterima. Bahkan bisa dipertahankan sebagai yang layak untuk diikuti. Ini sebagaimana kaidah fiqih, “al-‘adalah al-muhakkamah”, bahwa budaya atau tradisi (yang baik) bisa menjadi pertimbangan hukum.

Sikap bijak tersebut memungkinkan para pengikut Aswaja melakukan dialog kreatif dengan budaya yang ada. Dengan dialog, bisa saling memperkaya dan mengisi kelemahan masing-masing. Dari proses ini, memungkinkan melakukan upaya penyelarasan unsure-unsur budaya yang dianggap menyimpang dari ajaran pokok Islam.

Hal ini penting ditekankan, karena sekalipun mungkin ditemui adanya tradisi yang tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam, namun di dalamnya mungkin menyimpan butir-butir kebaikan. Menghadapi ini, sikap yang arif bila tidak menghancurkan semuanya, tapi mempertahankan unsure-unsur kebaikan yang ada dan menyelaraskan unsure-unsur lain agar sesuai dengan Islam.inilah makna kaidah “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”.

Contoh dalam hal ini adalah slametan atau kondangan atau kenduri yang merupakan tradisi orang jawa yang ada sejak sebelum Islam datang. Jika kelompok lain memandang slametan sebagai bid’ah yang harus dihilangkan, kaum sunni memandang secara proporsional. Yaitu bahwa di dalam slametan ada unsure-unsur kebaikan sekalipun juga mengandung hal-hal yang dilarang agama. Unsur kebaikan dalam slametan antara lain : merekatkan persatuan dalam masyarakat, menjadi sarana bersedekah dan bersyukur kepada Tuhan, serta mendoakan yang sudah meninggal. Semua tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga tidak ada alasan melenyapkannya, sekalipun tidak pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Sementara hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam – misalnya sesaji untuk makhluk halus – bisa diselaraskan dengan ajaran Islam secara pelan-pelan dengan penuh kearifan.

Sikap tersebut adalah yang diteladankan para Walisongo dalam meyebarkan ajaran Islam di nusantara. Sebagai pewaris Nabi, Walisongo tentu melakukan dakwah dengan pedoman jelas. Dalam menyikapi tradisi setempat diilhami oleh Nabi Muhammad sebagai panutannya. Satu misal, haji adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad. Oleh Nabi, haji tidak dihilangkan, tapi diisi dengan ruh tauhid dan dibersihkan dari kotoran syirik. Sikap inilah yang kemudian diteruskan oleh para sahabat dan para pengikutnya, termasuk Walisongo, yang disebut dengan kaum sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah.

Maka tidak mengherankan jika dakwah kaum sunni sangat berbeda dengan kaum non-sunni. Kaum sunni melakukan dakwah dengan cara arif. Pengikut Aswaja tidak melakukan dakwah secara destruktif (merusak) dengan menghancurkan tatanan atau segala sesuatu yang dianggap sebagai sesat. Jika saat ini banyak kita temui cara-cara dakwah yang penuh dengan kekerasan bahkan berlumuran darah, hal itu tidak sesuai dengan tuntutan dan kaidah Aswaja. Cara dakwah dengan kekerasan dan menyalahkan orang lain dapat ditemui akhir-akhir ini, contohnya FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan masih banyak lagi. Adapun para pengikut Aswaja melakukan dakwah dengan bijaksana dan penuh kearifan (bi al-hikmah).

Imam Syafi’i, salah satu pendiri madzhab fiqih Sunni, menyatakan : “kullu ra’yi shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ghairi ra’yi khatha’ yahtamilu shawab” (pendapatku adalah benar tapi mengandung kemungkinan untuk salah, dan pendapat orang lain salah tapi mengandung kemungkinan untuk benar). Ini merupakan sebuah sikap seimbang yang teguh dengan pendiriannya, tapi tetap bersikap terbuka karena kebenaran juga dimungkinkan ada pada orang lain. Kearifan seperti inilah yang memandu kaum sunni untuk tidak dengan mudah berperilaku seperti ‘preman berjubah’ yang teriak ‘Allahu Akbar’ sambil mengacung-acungkan pentungan dan pedang untuk menghancurkan kelompok lain yang dianggap sesat. Seakan-akan mereka benar secara mutlak dan orang lain sesat secara mutlak.

Sikap seperti ini adalah sikap dakwah Aswaja sebagaimana yang dicontohkan oleh Walisongo dalam menghadapi tradisi local. Terhadap tradisi yang tidak bisa diselaraskan dengan Islam, maka aktifitas dakwah dilakukan dengan damaidalam satu tatanan kehidupan yang saling menghargai dan damai (peaceful co-existance).
Read more ...

Landasan Dasar Tradisi

Salah satu ciri yang paling dasar dari aswaja adalah moderat (tawasuth). Sikap ini tidak saja mampu menjaga para pengikut Aswaja dari keterperosokan kepada perilaku keagamaan yang ekstrem, tapi juga mampu melihat dan menilai fenomena kehidupan secara proporsional.

Kehidupan tidak bisa dipisahkan dengan budaya. Itu karena budaya adalah kreasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Karena itu, salah satu karakter dasar dari setiap budaya adalah perubahan yang terus-menerus sebagaimana kehidupan itu sendiri. Dan karena diciptakan oleh manusia, maka budaya juga bersifat beragam sebagaimana keberagaman manusia.

Menghadapi budaya atau tradisi, ajaran Aswaja mengacu kepada salah satu kaidah fiqih “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang lebih baik). Kaidah ini menuntun untuk memperlakukan fenomena kehidupan secara seimbang dan proporsional. Seseorang harus bisa mengapresiasi hasil-hasil kebaikan yang dibuat orang-orang pendahulu (tradisi yang ada), dan bersikap kreatif mencari berbagai terobosan baru untuk menyempurnakan tradisi tersebut atau mencipta tradisi baru yang lebih baik. Sikap seperti ini memacu untuk tetap bergerak ke depan dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

Oleh karena itu, kaum sunni tidak apriori terhadap tradisi. Bahkan fiqih sunni menjadikan tradisi sebagai salah satu yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah hokum. Hal ini tercermin dalam salah satu kaidah fiqih “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).
Read more ...

Tasawuf Aswaja An-Nahdliyah

Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akherat dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual, yang bertujuan untuk memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil). Namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meniggalkan garis-garis syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Syari’at harus merupakan dasar untuk pencapaian hakikat. Inilah prinsip yang dipegangi tashawuf (tasawuf) Aswaja.

Bagi penganut Aswaja, Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah merupakan rujukan tertinggi. Tasawuf yang benar adalah yang dituntun oleh wahyu, Al-Qur’an maupun As- Sunnah (Thariqah al-Rasulullah SAW).

Para sufi harus selalu memahami dan menghayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad selama kehidupannya. Demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteruskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi Muhammad hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dari kehidupan pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), wara’ (menjauhkan diri dari perbuatan tercela) dan dzikir yang dilakukan mereka. Demikian juga perilaku mereka dalam bermasyarakat, seperti sopan santun, tawadlu’ (andab ashor) dan sebagainya harus selalu diresapi dan diteladani dengan penuh kesungguhan dan kesabaran.

Secara jama’ah, kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat diterima. Kaum Aswaja An-Nahdliyah menerima tarikat yang memiliki sanad sampai dengan Nabi Muhammad, sebab beliau pemimpin seluruh perilaku kehidupan umat Islam. Dari Nabi, seorang sufi harus merujuk dan meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi Muhammad, maka kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima sebagai thariqah mu’tabarah.

Jalan sufi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah-perintah syari’at. Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban syari’at, seperti yang terdapat dalam tasawuf al-Hallaj (al-hulul) dengan pernyataannya “ana al-haqq” atau tasawuf Ibnu ‘Arabi (ittihad; manunggaling kawula gusti). Karena itu, kaum Aswaja An-Nahdliyah hanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang tidak meninggalkan syari’at dan aqidah seperti yang terdapat dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.

Penerimaan tasawuf model tersebut, bertujuan memberikan jalan tengah (tawasuth) di antara dua kelompok yang berbeda. Yaitu kelompok yang menyatakan : Setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, tidak lagi diperlukan syari’at, dan kelompok yang menyatakan : Tasawuf dapat menyebabkan kehancuran umat islam. Oleh karenanya mereka menolak kehidupan tasawuf secara keseluruhan. Ini seperti yang dituduhkan Ibnu Taimiyah.

Dengan demikian, yang diikuti dan dikembangkan oleh kaum Aswaja An-Nahdliyah adalah tasawuf yang moderat. Pengadopsian tasawuf demikian, memungkinkan umat Islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, dan secara berjama’ah dapat melakukan gerakan ke arah kebaikan umat. Dengan tasawuf seperti itu, kaum aswaja An-Nahdliyah, dapat menjadi umat yang memiliki kesalehan individu dan kesalehan social (jama’ah).

Dengan tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi , kaum Aswaja An-Nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat. Ini pernah ditunjukkan oleh para penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat yang sama mereka selalu membenahi akhlaq masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh kaikhlasan dan ketertundukan.
Read more ...