Ketika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat Al-Qur’an, nuqilan matan Sunnah atau hadits, untuk mewujudkan citra muhafadzah maka langkah kerjanya sebagai berikut :
Pertama, kutipan ayat dari mushaf dengan rasam ‘Utsmaniy lengkap dengan petunjuk nama surat dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Depaertemen Agama RI.; kutip pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mu’tabar. Keunggulan tafsir bila ditelusuri dari sumber dan media yang diperbantukan serta penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan Al-Qur’an. Integritas mufassir sebagai ulama sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran ulama Syi’ah Imamiyah (Ja’fariyah dan Itsna Asy’ariyah) telah memperluas sifat kema’shuman melampaui wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kedua, Penuqilan matan sunnah/ hadits harus berasal dari kitab ushulul hadits (kitab hadits standard) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. serta nama periwayat/nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadits sebagai hujjah syar’iyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahannya sebagai shahih, hasan atau dha’if. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhadditsin yang paham keagamaannya diakui sebagai sunni.
Ketiga, Pengutipan ijma’ perlu memisahkan kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannya dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab seperti Imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarah hadits guna mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji pada masa sekarang belum memenuhi kualifikasi mujtahid level manapun.
No comments:
Post a Comment